Qana’ah, Rasa Cukup Yang Membuat “Berbagi” Serasa Melepas Beban

Wali Umat – “Mah, aku ganti hape yaa?” kata seorang suami. “Enggak sih… masih nyala semua. Cuma pengen ganti aja. Katanya kamera yang seri terbaru bikin foto makin ‘nyata’”.
Obrolan tersebut tentu saja obrolan buatan. Seorang pegawai muda, mungkin baru dua tahun bekerja, menatap layar ponselnya yang sebenarnya masih berfungsi normal. Ia hanya merasa... ketinggalan. Kamera depannya tak sewide-angle model terbaru. Desainnya tak se-premium iklan yang sedang viral. Maka, alih-alih menabung atau memperbaiki, ia memilih membeli dengan cara kredit.
Kita hidup di zaman ketika "cukup" ditentukan oleh impresi, bukan fungsi. Gadget bukan lagi alat, tapi lambang status. Masyarakat ditarik dalam pusaran industri bernama planned obsolescence—strategi di mana produk didesain cepat usang agar terus dibeli. Apple pernah mengakui meredupkan performa iPhone lama lewat pembaruan sistem, mendorong banyak pengguna untuk upgrade lebih cepat (The Guardian, 2020).
Padahal, dalam laporan Global E-Waste Monitor 2024, dunia menghasilkan 62 juta ton limbah elektronik per tahun. Indonesia menyumbang sekitar 1,9 juta ton, dan hanya 17,4% yang dikelola dengan aman. Sisanya mencemari air, tanah, dan rantai makanan kita. Ironisnya, banyak dari limbah itu berasal dari barang yang masih berfungsi, tapi dianggap “kurang baru.”
Di tengah “tsunami” tersebut, Islam sebenarnya punya “tanggul”-nya, yakni konsep qana’ah—rasa cukup yang bukan ditentukan oleh jumlah, tapi hati. Rasulullah ﷺ bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki secukupnya, dan Allah jadikan ia merasa cukup dengan apa yang diberi kepadanya.” (HR. Muslim)
Qana’ah bukan menolak kemajuan, tapi menimbang ulang: apakah kita benar-benar butuh, atau hanya ingin terlihat seperti butuh? Ia memberi ruang bernapas bagi keluarga. Rumah tak lagi tercekik cicilan karena keinginan tak habis-habis. Data internal BNI 2023 menunjukkan bahwa sekitar 37% pinjaman rumah tangga digunakan untuk pembelian elektronik konsumtif—termasuk smartphone dan aksesorisnya.
Rasa cukup berdampak pada ketenangan batin. Orang yang qana’ah tak mudah iri, tak gampang panik saat tak bisa ikut tren. Dalam psikologi sosial, konsep ini selaras dengan teori kebutuhan Maslow dan studi Daniel Goleman tentang emotional self-regulation—kemampuan menahan dorongan impulsif demi ketenangan jangka panjang.
Keluarga yang merasa cukup akan lebih hangat. Mereka tak mudah panas soal belanja daring atau ganti gawai gegara liat tetangga punya yang baru. Anak-anak pun belajar bahwa bahagia bukan soal punya banyak, tapi bisa menikmati yang ada. Bukankah itu definisi kebahagiaan yang hakiki?
Kaya Bukan Saat Menumpuk, tetapi Saat Mampu Berbagi
Rasa cukup bukan akhir. Ia awal dari kelapangan hati untuk berbagi. Ketika seseorang merasa “saya sudah cukup,” ia akan bertanya, “siapa yang belum?” Maka, sedekah bukan lagi beban, melainkan kelegaan.
Islam mengajarkan prioritas dalam memberi: mulai dari orang tua, saudara, tetangga, lalu lingkaran yang lebih luas. Rasulullah ﷺ bersabda:
الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
“Sedekah kepada orang miskin berpahala satu, sedekah kepada kerabat berpahala dua: sedekah dan silaturahmi.” (HR. Tirmidzi)
Sampai di sini, kita dapat memahami, bahwa gaya hidup konsumtif-lah yang membuat kita berat berbagi. Ketika kita akan memberi atau berbagi, sementara pikiran tertambat pada ponsel idaman lain. Dompet menipis demi gawai baru, sementara orang tua sendiri kadang lupa dibelikan obat. Kita bersaing membeli yang canggih, padahal tetangga kita masih menabung untuk biaya sekolah anak.
Sementara itu, bumi ikut menanggung akibat. Sampah elektronik yang tidak terkelola membocorkan logam berat ke tanah dan air. Studi dari Global E-Waste Partnership menunjukkan bahwa logam berat seperti merkuri, timbal, dan kadmium dari e-waste bisa mengganggu sistem saraf, fungsi hati, bahkan pertumbuhan anak-anak.
Lebih buruk lagi, mayoritas barang elektronik itu dibeli bukan karena fungsi, tapi karena gengsi. Kita ingin tampil mengikuti tren, alih-alih mencukupkan diri. Sebuah penelitian oleh The Nielsen Company (2022) menunjukkan bahwa 64% konsumen Indonesia mengganti ponsel karena ingin model terbaru, bukan karena rusak.
Qana’ah bukan sikap anti-belanja. Ia adalah sikap anti-ketergantungan. Ia mengembalikan manusia ke fitrah: memiliki secukupnya, menggunakan seperlunya, dan berbagi sebanyak-banyaknya.
Maka mulailah dari rumah sendiri. Periksa laci: berapa charger yang masih berfungsi tapi tak terpakai? Berapa HP lama yang masih nyala, tapi hanya jadi kenangan? Daripada ditumpuk, salurkan. Berikan ke adik, tetangga, atau lembaga sosial yang menyalurkan ke pelajar pelosok.
Kadang, satu ponsel yang kita anggap usang bisa jadi cahaya bagi seorang anak desa. Satu laptop yang tak kita pakai bisa jadi jembatan bagi pemuda meraih cita-cita. Tapi semua itu hanya bisa terjadi kalau kita tahu kapan harus berhenti menumpuk.
Qana’ah menyelamatkan banyak hal: dompet, hati, dan bumi. Ia membuat kita tenang dalam keheningan, bukan hanya sibuk dalam kemilau barang baru. Karena kaya yang sejati bukan ketika kita memiliki lebih banyak, tetapi ketika kita sanggup memberi lebih banyak.
Maka, jika hari ini kamu merasa cukup, bersyukurlah. Itu bukan akhir. Itu mungkin awal—dari keberkahan yang mengalir ke sekelilingmu.
“Cukuplah Allah yang membuat kita cukup. Dan biarlah sisanya jadi rezeki orang lain.”