• Language
    •  Indonesia
    •  English
    •  Arabic
Masuk Daftar
  • Home
  • Program
  • Donasi
  • Artikel
  • Tentang Kami

Tawar Menawar Itu Cari Berkah, Bukan Cuma Dapat Harga Murah

Wali Umat – Sore itu, di sudut trotoar yang menghitam oleh debu kota, seorang bapak tua menyusun mainan plastik dengan telaten. Tangannya gemetar pelan, tapi senyumnya tetap ia rawat meski matahari menguras tubuhnya. Dengan sepeda tuanya, mainan-mainan murah tergantung—boneka kecil, mobil-mobilan, dan rubik warna-warni. Satu mainan beliau jual Rp 2.000,-. Namun, siapa sangka, dengan harga segitu, masih ada yang menawar harganya. 

Bagi sebagian orang, itu biasa. Menawar harga di pasar, apalagi ke pedagang kaki lima, dianggap wajar—bagian dari tradisi belanja sehari-hari. Namun, dalam hati si bapak, bisa jadi, ada rasa yang tak mampu ia ungkapkan. Ia tidak marah, pun tak mampu menjelaskan mengapa harga itu tak bisa lebih murah. Harga itu sudah termasuk harapan untuk makan malam, membayar kontrakan, dan membeli makan keluarganya di hari ini..

Kita sering mengira, tawar-menawar hanya soal angka. Padahal, ia juga soal cara kita memandang manusia lain. Apakah pedagang itu kita anggap mesin penghasil diskon? Atau makhluk bernyawa yang tengah bertahan di antara kerasnya kehidupan? Ketika kita terlalu berambisi menawar, bisa jadi yang kita tekan bukan harga—tapi martabat seseorang.

Banyak dari kita sebenarnya tidak berniat buruk. Kita hanya ingin hemat. Ingin cerdas dalam berbelanja. Naluri untuk mendapatkan harga terbaik adalah bagian dari insting bertahan hidup. Di tengah harga yang terus naik, pengeluaran yang membengkak, dan kebutuhan yang tidak habis-habis, kita belajar mengurangi sedikit demi sedikit. Tapi kadang, penghematan itu dilakukan tanpa empati.

Dalam psikologi, ini disebut sebagai “cognitive miser”—manusia cenderung membuat keputusan berdasarkan upaya paling hemat energi. Termasuk saat belanja. Otak lebih suka “harga termurah” karena itu terasa sebagai pencapaian cepat. Kita lupa bahwa murah tidak selalu berarti adil. Keputusan yang cepat, sering kali luput dari pertimbangan nurani.

Saat berhadapan dengan penjual di minimarket, kita membayar sesuai tag harga tanpa pikir panjang. Namun, saat bertemu pedagang keliling, kita merasa berhak menawar. Mengapa? Karena kita tahu mereka tidak punya label harga tetap. Ada ruang kompromi—dan celah untuk dominasi. Rasio ini membuat pasar tradisional menjadi arena tarik ulur yang sering tak setara.

Kita tak sedang menyalahkan hak pembeli untuk menawar. Namun, kita perlu mengingat: ada batas antara menawar dan menekan. Ketika menawar tak lagi disertai adab, maka relasi ekonomi berubah jadi dominasi yang menyakitkan. Menawar harusnya tentang mencapai ridho kedua belah pihak, bukan memaksa yang lain menyerah.

Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang serba sempit, sah saja jika seseorang menawar demi menyesuaikan kemampuan. Namun, beda antara menawar karena terpaksa dan menawar karena terbiasa menekan. Yang satu dilakukan dengan empati, yang lain dengan keinginan menguasai. Di situlah letak kehalusan moral dalam transaksi.

Tekanan ekonomi nyata. Banyak rumah tangga yang harus menahan belanja demi membayar listrik, air, cicilan, hingga uang sekolah anak. Dalam situasi seperti ini, keinginan untuk menghemat menjadi tinggi. Kita masuk pasar dengan perhitungan tajam dan harapan besar: semoga dapat potongan, semoga cukup.

Namun, justru di saat kita sendiri sedang susah, kita diuji: apakah masih bisa membagi ruang empati kepada orang yang lebih susah? Pedagang kecil bukan hanya pihak yang kita temui dalam transaksi. Mereka adalah sesama yang juga sedang bertahan, seperti kita. Saat dua orang susah bertemu, mestinya bukan hanya transaksi yang terjadi—tapi juga saling pengertian.

Seringkali, kita menganggap sukses saat berhasil menawar jauh dari harga awal. Padahal bisa jadi harga awal itu sudah sangat tipis dari sisi keuntungan. Kita hanya melihat hasil akhir: “Saya untung.” Tapi jarang bertanya, “Dia rugi enggak, ya?” Di sinilah kesadaran sosial dan spiritual perlu hadir.

Ketika transaksi dilakukan tanpa empati, yang kita mungkin berhasil membawa pulang barang, tapi bisa jadi tidak disertai keberkahan. Keberkahan, memang tak kasat mata, selalu meninggalkan jejak. Ia membuat hati tenang, rezeki menyambung, dan relasi menjadi ringan. Sebaliknya, harga murah yang diperoleh dengan menekan bisa membuat hati berat tanpa kita sadari.

Sayangnya, dalam budaya konsumerisme hari ini, keberkahan bukan prioritas. Yang penting “hemat”—apa pun caranya. Kita melihat potongan harga sebagai kemenangan, bukan kebaikan. Di sinilah kita perlu menggeser perspektif: bahwa belanja bisa jadi ladang pahala, bukan sekadar penghematan.

Pertanyaannya kemudian: apakah kita siap membayar sedikit lebih mahal demi menyelamatkan hati seseorang? Demi menjaga adab? Demi menumbuhkan keberkahan? Kadang lima ribu rupiah yang kita ikhlaskan menjadi penghalang bagi musibah yang tak terlihat. Kita hanya perlu percaya, bahwa setiap keikhlasan ada balasannya.

Maka saat kita menawar, coba lihat lebih ke dalam matanya: apakah pedagangnya terlihat lelah? Apakah ia bicara dengan suara yang hampir habis? Apakah ia menunjukkan bahwa harga itu sudah sangat minimal? Rdho itu bukan hanya urusan transaksi, tapi juga perasaan. Dan perasaan, kalau dilukai terlalu sering, bisa berubah jadi luka sosial.

Di Antara Ridho dan Risiko


Pedagang sayur keliling, yang merupakan pedagang kecil, sering kali menjadi "korban" tekanan harga yang rendah. Sumber: caribengkulu.com

Tawar-menawar bukan dosa. Bahkan dalam tradisi masyarakat timur, ia dianggap seni, ruang untuk berinteraksi, dan saling memahami batas. Tapi ketika niat kita berubah dari sekadar negosiasi menjadi upaya merendahkan atau menguasai, tawar-menawar kehilangan ruhnya. Yang tersisa hanyalah gesekan—antara harga dan harga diri.

Banyak pembeli menganggap bahwa keberhasilan berbelanja adalah saat bisa mendapatkan harga terendah. Padahal ukuran keberhasilan itu bisa diperluas: apakah transaksinya membawa ridho? Apakah penjual dan pembeli sama-sama merasa ringan hatinya? Karena itu, dalam jual beli, yang dikejar bukan cuma barang, tapi keberkahan yang menyertainya.

Ridho bukan sesuatu yang kasat mata. Tapi ia terasa. Pernahkah kita membeli barang, lalu hati terasa ringan, walau harganya sedikit lebih mahal? Atau sebaliknya, berhasil menawar jauh… tapi ada rasa tak enak yang menggantung. Itu mungkin bukan rasa bersalah. Tapi rasa bahwa kita kehilangan keberkahan dalam cara kita mendapatkan sesuatu.

Ketika adab hilang, bahkan transaksi sederhana bisa berujung sengketa. Tak sedikit cekcok di pasar dimulai dari “harga yang dianggap terlalu mahal” oleh pembeli. Padahal, bagi penjual, harga itu mungkin sudah turun berkali-kali. Tapi karena pendekatan yang kasar, pembicaraan berubah jadi percekcokan, dan transaksi jadi medan emosi.

Ada sebuah kisah nyata yang viral pada 2022 silam di Pasar Gedebage, Bandung. Seorang pembeli menawar barang di salah satu pedagang. Si pembeli menawar dengan nada tinggi. Ternyata, pilihan nada tersebut sudah lebih dari cukup menekan si pedagang. Pedagangnya tersinggung. Bukan hanya merasa diremehkan, tapi juga terbakar harga diri. Cekcok pun terjadi.

Yang lebih mengejutkan, si pedagang sampai menusukkan senjata tajam pada sang pembeli. Akibatnya, pembeli bersimbah darah. Dalam perjalanan ke rumah sakit, si pembeli akhirnya menghembuskan nafas terakhir. 

Tentu kejadian itu bukan gambaran umum setiap tawar-menawar. Namun, ia jadi cermin ekstrem tentang betapa tipisnya batas antara negosiasi dan konflik, antara menawar dan merendahkan. Jika satu pihak merasa ditekan terlalu dalam, atau tak dihargai, reaksi emosional bisa meledak dalam bentuk yang tak terduga.

Kita tak pernah tahu beban batin seseorang saat sedang berdagang. Bisa jadi ia menahan lapar, baru kehilangan anak, atau sedang dikejar utang. Saat kita datang dengan niat menawar, itu bukan dosa. Namun, ketika kita datang dengan niat menundukkan, atau menekan, kita sedang bermain-main dengan luka orang lain.

Maka, kalau hari ini kita punya uang lebih, walau hanya seribu-dua ribu rupiah, dan kita melihat pedagang itu renta, letih, atau sedang mencoba bertahan—berikan saja. Tak perlu menawar. Karena bisa jadi, kelebihan kecil dari kita, adalah satu-satunya napas panjang yang mereka punya hari itu. Dan siapa tahu, dari sana, rezeki kita justru dilipatgandakan.

Belanja tidak harus murah. Namun, ia harus berkah. Keberkahan tak selalu hadir dari potongan harga, tapi dari cara kita memperlakukan manusia. Jika hari ini kita bisa membeli dengan adab, empati, dan niat menjaga ridho—maka yang kita bawa pulang bukan sekadar barang, tapi doa dan ketenangan. Dan kadang, itu jauh lebih bernilai daripada angka di nota belanja.



Share This